Tanam bawang putih dikebun Bunda
Empat Bulan lamanya dibudidaya
Tak terasa sudah 100 hari pertama kerja
Sudah waktunya bagi cerita

Sudah tabiat hujan bulan Desember selalu membawa suasana rindu. Buka-buka isi blog terakhir di bulan September eh baru ingat ternyata sudah hampir 4 bulan aku bekerja, tepatnya sudah 100 hari pertama kerja. Jadi ingat 4 bulan yang lalu ketika ibu kota memanggilku “bapak” di pelataran Monas, cukup menggelitik memang ketika mengingatnya. (“Jangan Panggil aku bapak  Oma”,  Edisi September 2019).
Kesan hari pertama kerja di Kota Metropolitan adalah macet, panas dan menyebalkan. Bagaimana tidak, jarak 35 km normal tempuh menggunakan motor harusnya adalah satu jam setengah, kenyataannya hampir dua jam setengah baru sampai kantor. Padahal dari rumah pukul 06.00 WIB sampai kantor 08.20 WIB, jadinya telat, payah (Fyi masuk kantor 08.00 WIB).
4 hari berikutnya, aku menjalani “training” singkat di salah satu kota di Jawa Tengah, yaitu Tegal. Memang sudah biasa bagiku yang lulusan pertanian apalagi punya kegemaran naik turun gunung, jika harus ditempatkan di wilayah pegunungan dengan ketinggian paling tidak 1000 mdpl. Udara dingin, Malam berkabut, susah signal yah itulah kesan saat itu. Esok harinya pukul 07.00 WIB, briefing untuk pembagian tim dan lokasi pengukuran lahan petani yang menjadi mitra. Seperti burung dalam sangkar yang dilepas di alam liar, begitulah gambaran “suasana hati”(Lepas dari kota). Semua berjalan menyenangkan, ketika siang tiba, aku makan bersama petani di gubuknya. Menjelang pulang, di tengah pematang  sawah kakiku terperosok jatuh ke badan sawah dari ketinggian 2 meteran, seketika kakiku terasa sakit. Benar, malam harinya kakiku bengkak dan sulit berjalan. Untung, aku bertemu dengan orang-orang yang baik, rekan petaniku memanggilkan tukang urut untuk mengobati keseleo kakiku.
Minggu ke-2 bekerja, artinya masa penempatan tiba. Hayo tebak dimana kota penempatanku, depan T belakang G. Tulungagung ? Tenggarong ? atau ? Yap, Temanggung, yang kutahu dari kota ini adalah Gunung Sindoro dan Gunung Sumbingnya. Cerita sesungguhnya berawal dari tempat ini.....
Hari pertama kerja di kota penempatan, aku dikenalkan oleh seniorku kepada petani-petani mitra. Hampir lupa seniorku sekaligus kawanku ini sebut saja namanya Pak Zul, 9 tahun usianya diatasku. Sama halnya di Tegal, yang aku kerjakan adalah mengukur lahan petani mitra, kali ini aku didampingi oleh Pak Mar, pengurus kelompok Tani di kaki Gunung Prau. Pada bagian cerita ini, semuanya berjalan baik-baik saja. Hingga tiba bulan ke-2 bekerja, aku dikenalkan oleh kelompok tani yang akan kudampingi. Satu kelompok tani di kaki Gunung Sindoro dan satu kelompok tani di kaki gunung Sumbing, total luas lahan yang aku pegang adalah 38 Ha, semuanya di ketinggian 1200 mdpl.
Hari-hari ke depan semua jadwal ada ditanganku, pastinya disesuaikan dengan jadwal kelompok tani dampinganku. Pengukuran-pengukuran lahan berjalan sesuai target tanpa menghadirkan kembali “insiden” seperti di Tegal. Sejauh ini-pun tidak ada konflik-konflik yang berarti antara aku dan kelompok taniku ataupun dengan petani mitra. Tetapi ada yang berkesan ketika aku melakukan pengukuran di kelompok taniku yang di kaki gunung sumbing, saat itu aku belum ada motor, jadi pulang dari pengukuran lahan harus berjalan kaki kurang lebih 3 km, dari ketinggian 1820 mdpl ke ketinggian 1210 mdpl, padahal kondisi kakiku belum sepenuhnya pulih dari keseleo saat di Tegal. Begitupun juga saat pengukuran terakhir di lahan kelompok taniku yang di kaki gunung sindoro, mumpung lokasi lahannya berada di kawasan wisata alam jadi kita berangkat bareng-bareng naik mobil, semua pengurus kelompok tanipun ikut seperti mau piknik haha. Disana kita tidak hanya pengukuran lahan saja, tetapi juga foto-foto, makan-makan persis seperti turis.


Dua bulan berikutnya, masa pembagian saprodi (sarana produksi). Pengadaan barang dan pendistribusian barang harus terpantau semua. Prinsipnya adalah “Semua proses harus terpantau mata, tercatat tinta dan terdokumentasikan kamera”. Sempat terjadi konflik kecil dengan supliyer barang, yah karena aku saja sebenarnya yang salah. Kesalahan itu aku anggap sebagai pembelajaran saja, dimarahi juga gak masalah anggap saja sebagai “suara-suara motivasi”. Konflik-konflik itu pasti ada tinggal kita saja bagaimana caranya menyelesaikan tanpa ada korban, seperti saat adanya kesalahpahaman antara salah satu kelompok taniku dengan supliyer barang, mereka sama-sama keras kepala, tapi dengan adanya diskusi-diskusi tatap muka kesalahpahaman itu dapat diselesaikan dengan cepat. Teringat benar aku, karena ada masalah ini, aku harus pulang hingga tengah malam untuk berdiskusi dan mendengar semua sisi untuk bisa membuat penawaran titik temu yang akhirnya bisa disepakati kedua belah pihak.
100 hari pertama kerjaku tidak hanya menceritakan tentang apa saja yang aku kerjakan selama itu. Melainkan juga kehangatan apa saja yang tercipta di lereng gunung sumbing dan gunung sindoro. Mungkin karena usiaku yang paling muda di tim on-farm jadi mereka menganggapku sebagai si bungsu yang perlu dimanja, digoda dan kadang kalanya dikerjain. Sama halnya aku dengan para petani mitra ataupun kelompok taniku, pasti mereka menganggapku sebagai anak atau cucunya, karena usia mereka sama seperti usia ayah dan kakekku. Ada satu ungkapan dari beberapa petani pengurus kelompok taniku yang buat aku terenyuh “ Mas, kalau program ini sudah selesai, mas balik ke kota, apa mas masih ingat kita, 1 atau bahkan 5 tahun lagi masih mau kesini main ke rumah kita ?”. Dalam hati pak baru 3 bulan sudah melow-melow saja. Aku jawab tegas “ Pasti pak, jangan lupain saya juga ya pak”.
Ke depan masih ada berangka-angka hari yang harus diselesaikan dengan hasil memuaskan, keberhasilan tidak hanya jika target tercapai melainkan juga seberapa nilai kebermanfaatanya bagi sesama. Dan selalu ingat filosofi orang jawa “Dadi manungso sing bisa ngatur urip, Aja gelem diatur Urip, Nanging Aja nglalekake aturane sing gawe urip”. Jadilah manusia yang dapat mengatur kehidupan, jangan mau diatur oleh kehidupan, tapi jangan melupakan aturan yang membuat hidup.