Angin Jakarta sore itu seolah menunjukkan ketidakramahan ibu kota. Di halaman Monumen Nasional (Monas), tak sedikit yang bergaya dengan senyuman eksis menghadap kamera. Bahkan rombongan emak-emak memenuhi punggung jalan dan memaksa kereta wisata untuk berhenti sejenak hingga mereka puas berswafoto ceria. Yah.. tidak salah memang, bagi kebanyakan orang mengabadikan momen di Monas dengan foto atau video adalah suatu kebanggaan dan bentuk eksistensi diri (bukan narsis ya), apalagi mereka yang datang jauh-jauh dari daerah. (seperti si penulis).
Layaknya maskot kebanggaan negara-negara lainnya di dunia , Monas berhasil menghipnotis banyak orang untuk mengunjunginya. Terlihat hari mulai gelap, namun pelataran Monas justru semakin padat. Terlebih saat itu pula sedang ada pagelaran wayang kulit di istana negara, tepat diseberang jalan dari Monas. Dibalik desas-desus rencana ibu kota negara yang dipindah, pikirku selagi masih di Jakarta tidak ada salahnya berkunjung juga ke Monas.
Pertama kali datang mengunjungi monas bersama tante yang tinggal di Bogor dan seorang sahabat yang sedang magang di perusahaan, sepulang dari interview rekrutmen kerja di salah satu BUMD milik pemerintah provinsi DKI Jakarta, masih lengkap menggunakan pakaian formal, kemeja lengan panjang, celana kain hitam dan sepatu vantovel, berbanding 360O, Tante dan sahabatku justru memakai pakaian yang fashionable dengan celana jeans dan kaos lengan pendek sepatu kets. Seperti halnya yang lain kami-pun juga asyik berswafoto dengan banyak gaya.
Dekat kami, dua ibu-ibu lanjut usia dengan logat khas Batak juga sedang asyik berswafoto. Tanteku-pun menawarkan untuk memfotokan mereka berdua, namun mereka menolak dan justru menawarkan balik untuk memfotokan kami bertiga. Kami pastinya menerima. Mbak sama mas yang baju kuning agak merapat, bapak yang pakek kemaja tangannya kurang tinggi  .Perintah ibu tadi dengan logat bicara khas Batak. Seketika, sahabat dan tanteku-pun dibuat kaget tertawa terbahak-bahak saat itu. Tak puas dengan memanggil bapak.  Bapakk..eee.. Om.om tangan kau kurang tinggi deketanlah sama mbaknya  Perintah ibunya. Lagi-lagi tante dan sahabatku-pun tak henti-hentinya tertawa. Kesal aku-pun mendengarnya, dan aku langsung bilang terimakasih bu, berharap kedua ibu tadi segera pergi dan tidak memanggilku om atau bapak lagi. 



    Sepanjang menikmati keindahan suasana monas, aku-pun berpikir kok bisa aku dipanggil om... bapak sama oma-oma sih, dan jawaban itupun aku dapatkan dari celetukan sahabatku yang bernama Amar. Makanya kalau ke tempat wisata ganti pakaian dulu, jangan pakai pakaian formal Ucapnya. Iya kayak orang pulang ngantor Timpal tanteku. Bener juga sih kata mereka. Cukup geli memang ketika mengingat kejadian itu, pengalaman dan cerita yang tak akan pernah terlupakan ketika berkunjung ke monas di pertama kalinya. Meskipun demikian, kami cukup menikmati suasana monas hingga lebih dari dua jam. Sayangnya, kami sudah tidak bisa menikmati keindahan kota Jakarta dari atas monas, karena hari sudah malam dan lift monas sudah dihentikan.


     Seusai shalat maghrib kamipun kembali ke parkiran mobil. Selama di mobil dalam perjalanan pulang-pun kami kembali mengulas kejadian lucu tadi yang cukup membuatku malu dan geli.  Monas pertama kali kau kudatangi, dan pertama kali pula kau membuatku malu ratapku dalam hati. Monas-pun, mengajarkanku arti persahabatan sejati yang sesungguhnya, terimakasih sahabat, sudah rela bolos magang, jauh-jauh dari Depok nahan buang air besar, keliling Jakarta panas-panasan, kelaparan, menunggu lama di lobbi kantor sendirian, demi menemani sahahabatmu interview. Aku pikir lucu juga ya sambutan ibu kota kepadaku, meski gak ramah-ramah amat sih...